Rate: T aja lah
Genre: shonen-ai, drama
Summary: kaga tau, baca aja!
A/N: latarnya diambil dri episode 16. gyahaahaaa!!! episode paporitkuuu~ XD
Frau's POV
“Jika kau ingin memberiku ketentraman, tersenyumlah.”
Aku. Aku yang mengatakan hal itu pada Teito. Bodoh! Kenapa tiba-tiba aku mengucapkan hal itu padanya? Memalukan! Aku tidak mengerti diriku yang tiba-tiba memanggil Teito untuk mengatakan permintaan macam itu.
Sebelum aku berhasil menarik kembali ucapanku –karena sangat memalukan—, Teito mengelak lebih dulu. “Aku tidak bisa melakukannya, dasar bodoh!”. Lalu pergi. “Tunggu saja! Apapun yang kau katakan, aku akan segera mengeluarkanmu dari sana!” katanya lagi. Wajahnya tadi langsung tersipu kemerahan begitu telinganya mendengar permintaanku. Terlihat manis sekali di mataku.
Baguslah jika dia tidak bisa melakukannya. Toh aku sendiri juga tidak mengerti mengapa aku bisa berkata seperti itu. Aku kembali memakan apel hijau yang ada di tanganku. Dasar! Pelit sekali para petugas, hanya memberiku sebuah apel hijau untuk dimakan. Sangat ingin melahap apel itu dengan gigitan selanjutnya, kusadari ternyata anak bodoh itu belum ke permukaan, masih berdiam diri tidak jelas d tengah danau, membelakangi diriku.
Tiba-tiba, ia berbalik. Apa?! Tersenyum. Teito benar-benar tersenyum kepadaku. Senyumnya berat sekali. Sepertinya ia tidak biasa mengangkat bibirnya untuk tersenyum. Tapi demi aku, dia benar-benar mengangkat dengan paksa bibirnya yang kaku itu. Walaupun senyumnya terlihat aneh begitu, senyumnya terlihat manis. Sangat manis. Apalagi ditambah dengan rona merah di wajahnya, dia terlihat makin manis dan imut. Aku sangat terpesona, sampai-sampai apel yang menjadi satu-satunya makananku di penjara ini kujatuhkan dari tanganku tanpa sadar.
Aku ingin berterima kasih dan membalas senyum manisnya itu. Tapi dia langsung pergi begitu memberikan senyumnya padaku.
Yang benar saja. Senyumnya benar-benar membuat hatiku tentram. Setelah dipikir-pikir, tidak menyesal aku mengatakan permintaan itu padanya.
Teito’s POV
“Teito.”
Aku langsung mendekat ke Frau. Menempelkan telingaku ke pembatas yang memisahkan kami berdua agar bisa dengan jelas mendengar suara Frau.
“Aku punya permintaan.”
Heee? Permintaan apa?
“Jika kau ingin memberiku ketentraman, tersenyumlah.”
Kata-kata itu mengalir ke dalam telingaku dengan lembut. Kata-kata itu begitu lembut, sehingga membuatku tersipu. Aku yakin, pasti wajahku memerah saat ini.
“Aku tidak bisa melakukannya, dasar bodoh!” aku langsung menolak permintaan bodoh Frau itu dan pergi meninggalkannya. “Tunggu saja! Apapun yang kau katakan, aku akan segera mengeluarkanmu dari sana!”
Benar, permintaan yang sangat bodoh. Tersenyum? Rasanya itu hal yang sangat mustahil bagiku! Aku yang dibesarkan sebagai seorang sklave ini tidak pernah diajarkan untuk tersenyum. Tidak pernah ada yang pernah mengajarkanku untuk tersenyum.
Kecuali...
Kecuali... mikage! Ia pernah memprotesku yang tidak pernah tersenyum dan berwajah dingin ini. Ia pernah mengajarkan cara tersenyum padaku. Walaupun saat itu hasilnya nihil. Wajah tersenyumku saat itu malah menjadi acara lawak bagi Mikage.
Ok! Aku akan mencoba untuk tersenyum sekali lagi. Kepada Frau. For Frau’s sake.
Aku membalik badanku yang sejak tadi membelakangi Frau. Lalu... Tersenyum padanya...
Senyumanku pasti jelek sekali. Inilah senyum dari orang yang tidak pernah tersenyum. Tidak manis! Namun, walaupun begitu, kuharap senyumku ini dapat memberikan ketentraman pada Frau...